Your brain records everything you see, hear and feel.
You just need to find a way to remember it.
Entah tanggal berapa, kira-kira satu tahun lalu di bulan September, aku mengeluh pada Papih tentang quarter life crisis yang sedang aku alami - seolah tidak berujung! Memang sejak kecil, aku selalu bercerita pada kedua orang tuaku tentang apapun, mulai dari sekolah sampai urusan percintaan. Sebagian orang mungkin segan atau malu cerita pada orang tua, aku justru lebih nyaman bercerita pada mereka. Mereka pun memberi respon yang mudah aku pahami dan tidak jarang membuatku lebih bijak untuk mengambil keputusan.
"Teteh capek, Pih. Gagal dan sakit hati terus."
Kalimat itu yang keluar dari mulutku. Saat itu kami sedang berada di dalam mobil, terjebak macet di perempatan Pasteur, Bandung, seperti biasa. Aku memandangi awan putih yang terlihat jelas dari jendela mobil, Papih sedang meminum kopi yang kami beli lewat drive-thru Starbucks.
"Kita gagal bukan berarti kita tidak pantas mendapatkannya, Teh. Belum waktunya, sabar."
Aku menyeka air mataku. Saat itu suasana hatiku sedang benar-benar kacau, lelah dengan tugas-tugas kuliah dan sedikit stress menjelang keberangkatanku ke Australia (dan hari ini aku mengetik di kamar tidur yang sudah kutempati selama 6 bulan di Australia!).
"Ya tapi sampai kapan sabarnya? Teteh udah berusaha, berdoa. I did everything that humanly possible, Pih."